
Sejarah Redemptoris di Keuskupan Agung Jakarta
CERITA REDEMPTORIST DI KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA (KAJ)
P. Willy Ng. Pala
Menurut sejarah pada abad ke-19, Kongregasi Redemptorist (CSsR) pernah menerima tawaran untuk melayani di Hindia Belanda, tetapi Redemptorist menolak tawaran tersebut. Tawaran ini datang pada tahun 1840-an dari pihak Gereja Katolik di Hindia Belanda yang membutuhkan tenaga imam misionaris. Namun, Redemptorist tidak mengambil kesempatan itu karena beberapa alasan, termasuk fokus mereka pada karya misi di Eropa dan keterbatasan jumlah tenaga imam pada saat itu.
Penolakan ini juga dipengaruhi oleh prioritas yang diberikan kepada wilayah lain di mana kebutuhan pastoral dianggap lebih mendesak, sesuai dengan semangat pendiri mereka, Santo Alfonsus Maria de Liguori, yang menekankan pelayanan kepada komunitas-komunitas yang paling terabaikan.
Tapi yang namanya ‘jodo’ tidak lari ke mana-mana, akhirnya juga tawaran untuk berkarya di Indonesia tiba lagi di abad berikutnya, abad 20. Meskipun kali ini tidak langsung ke Jakarta. Ceritanya sedikit berputar sebelum benar-benar mendarat di Jakarta.
Memang Pada tanggal 19 Desember 1956, Para Missionaris Redemptorist sempat mampir di Kota Jakarta, yang baru 11 tahun menjadi Ibu Kota Negara Kesatuan republic Indonesia. Mereka mampir sejenak untuk membongkar barang dan urusan administrasi dokumen perjalanan sebelum melanjutkan perjalanan menuju Sumba sebagai destinasi terakhir.
Pada 16 Januari 1957, 225 tahun sejak Kongregasi didirikan, para Redemptoris mendarat di Waingapu, Pulau Sumba, NTT. Para Redemptoris yang berasal dari Provinsi Köln, Jerman mendapat mandat dari Tahta Suci untuk berkarya di Pulau Sumba dan Sumbawa. Misionaris Redemptoris angkatan pertama menggantikan para imam dan bruder SVD yang lebih dulu berkarya di kedua pulau tersebut. Tujuan Kongregasi yang telah digariskan oleh sang pendiri diteruskan di kedua pulau ini sampai hari ini dan telah menjadi Provinsi Indonesia sejak tahun 2001.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perjalanan Kongregasi Redemptorist memang bernasib untuk berkarya di kota metropolitan ini. Ini semua berawal pada tanggal 14 Juni 1994, bapak Marcel Beding. Beliau yang pada saat itu menjabat Wakil Ketua Dewan Paroki Santo Bonaventura, Pulomas, Keuskupan Agung Jakarta, menghubungi pimpinan Kongregasi Redemptoris di Weetebula, Sumba. Ia menyampaikan suatu pertanyaan mengapa para Redemptoris tidak berkarya di Jakarta.
Menurutnya banyak hal bisa dilakukan di Jakarta dan tetap sesuai dengan semangat Santo Alfonsus, pendiri kongregasi. Di samping itu, Bapak Marcel juga menyampaikan, bahwa akan ada pemekaran paroki-paroki sehingga dibutuhkan banyak tenaga imam baru.
Atas pertanyaan tersebut, pimpinan saat itu, P. Wilhem Ernest Wagener CSsR atau P. Wagener menjalin kontak dengan Uskup Agung Jakarta saat itu, Mgr. Leo Soekoto SJ Dari kontak dan korespondesi tersebut, kemudian, P. Wagener melakukan kunjungan ke Jakarta. Ia menghadap Mgr. Leo Soekoto SJ dan membicarakan mengenai kemungkinan para Redemptoris berkarya di Keuskupan Agung Jakarta.
Beberapa tempat dikunjungi termasuk tempat tinggal bapak Marcel Beding dan paroki-paroki di sekitarnya. Dalam kunjungan tersebut Mgr. Leo Soekoto SJ memberikan usulan agar ditempatkan terlebih dulu satu, dua imam Redemptoris untuk mengenal dan berorientasi mengenai karya pastoral di Keuskupan Agung Jakarta.
Hasil kunjungan Pater Viceprovinsial saat itu dibawa dalam sidang pimpinan Kongregasi di Indonesia. Melalui refleksi dan doa, dilihat bahwa tujuan kongregasi dapat dijalankan di Keuskupan Agung Jakarta. Hasil rapat itu disampaikan ke Keuskupan Agung Jakarta. Selanjutnya P. Dr. Hendrik Berybe CSsR ditunjuk untuk memulai karya di Jakarta.
Mgr. Leo Soekoto SJ menyambut gembira pemberitahuan pimpinan Redemptoris tersebut. Selanjutnya melalui surat ter- tanggal 2 Oktober 1995, Mgr. Leo Soekoto menempatkan P. Hendrik untuk mengajar di STF Driyarkara dan menjalankan pelayanan kategorial lain seperti pelayanan para politisi. Di samping itu P.Hendrik dipersiapkan untuk calon pastor Cikarang. P. Hendrik bertempat tinggal sementara di Paroki Pulomas atas usulan Rm A. Widianto Pr.
Ketika Kardinal Julius Darmaatmdja SJ menggantikan Mgr. Leo Soekoto menjadi Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta, P. Hendrik ditempatkan di Paroki Pasar Minggu untuk menjadi pastor pembantu dan sekaligus memulai komunitas bersama imam diosesan serta mengajar di STF Driyarkara dan Atma Jaya Jakarta (1 September 1996).
Pada tanggal 25 September 1998, pimpinan kongregasi saat itu, P. Yulius Luli Tedemaking CSsR menghadap Kardinal Julius Darmaatmaja SJ untuk membicarakan karya Redemptoris di Keuskupan Agung Jakarta. Dari pembicaraan tersebut disepakati para Redemptoris akan berkarya di bidang pastoral parokial dengan tetap mengindahkan sasaran pewartaan khas kongregasi. Model berkarya dalam tim lintas yang ditawarkan Kardinal disambut gembira oleh P. Yulius. Oleh karena itu, tenaga para Redemptoris akan ditambah.
Selanjutnya, pada tanggal 13 November 1998 P. Paulus Dwiyaminarta CSsR yang saat itu menjabat pembimbing postulat dipindahtugaskan ke Keuskupan Agung Jakarta. P. Paulus Dwiyaminarta sesuai dengan kesepakatan pimpinan Kongregasi dan Keuskupan Agung Jakarta hendak ditempatkan di Paroki S. Maria, Tangerang.
Namun, sebelum sampai ke tempat tujuan P. Soenarwidjaja SJ, Vikaris Jenderal saat itu, menghubungi pimpinan melalui telefon, bahwa ada kekurangan tenaga di Keuskupan dan karenanya P. Paulus Dwiyaminarta hendak dipindahkan lagi, meskipun belum bertugas di Paroki Tangerang, ke paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu. Sedangkan P. Hendrik berpindah ke Paroki Santo Leo Agung, Jatibening, dan membantu di Paroki S. Servatius, Kampung Sawah. P. Paulus bekerja di Paroki Pasar Minggu bersama Pastor A. Budi Setyawan Pr yang menjabat sebagai pastor kepala. P. Hendrik bersama dengan Pastor Hadi Suryono Pr.
Namun Tuhan berkehendak lain. Pada 14 November 1998 setelah memimpin perayaan ekaristi hari Sabtu sore, P. Hendrik meninggal dunia secara mendadak karena serangan jantung Kepergian P. Hendrik ini menyulitkan Kongregasi mencari pengganti. Akhirnya, P. Andreas Suhana CSSR, yang saat itu menjadi pastor paroki di Homba Karipit, Sumba (Keuskupan Weetebula), ditunjuk untuk menggantikan P. Hendrik menjadi pastor pembantu di Paroki S. Leo Agung, Jatibening. P. Andre mulai bertugas pada hari Rabu Abu 1999.
Melihat medan karya di Keuskupan Agung Jakarta, Kongregasi memutuskan untuk membentuk komunitas dengan rumah residensi, agar kehidupan para Redemptoris di Jakarta lebih nampak sebagai komunitas. Setelah melihat berbagai kemungkinan, atas kebaikan dan saran Keluarga A. Kardjono, P. Andre sebagai pejabat pimpinan komunitas mendapatkan tawaran rumah milik suatu keluarga Muslim yang baik, yaitu Bapak Didit Meha di Kompleks Taman Bougenville, Jatibening. Rumah tersebut dirasakan sesuai dan segera diinformsikan ke pimpinan saat itu, P. Yulius Luli Tedemaking. P. Andre juga melaporkan rencana ini ke Keuskupan Agung Jakarta. Serah-terima rumah terlaksana pada bulan Juni 2000.
Keberadaan rumah tersebut menjadi babak baru karya dan kehadiran para Redemptoris di Keuskupan Agung Jakarta. Paroki S. Leo Agung, Jatibening juga mengalami penambahan tenaga pastoral dari kongregasi, yaitu P. Damianus Lolo CSsR, sedangkan P. Andreas Suhana kemudian menjadi pastor paroki (Oktober 2000). Pastor Hadi Suryono Pr menjadi pastor paroki di Cilangkap. Sedangkan P. Yoakim Rambaho Ndelo CSsR ditempatkan di Paroki Pasar Minggu menggantikan P. Paulus Dwiyaminarta CSSR yang pada tahun itu memulai persiapan studi bidang hukum sipil di Jakarta.
Di medan karya parokial tersebut, para Redemptoris menjalankan tugas perutusan sesuai dengan tujuan kongregasi didirikan. Dalam pelayanan pastoral selalu diingatkan agar pelayanan mencakup juga mereka yang ditinggalkan atau malah diabaikan oleh paroki. Kehadiran seorang Redemptoris haruslah memberikan nilai lebih sesuai dengan tuntutan Santo Alfonsus.
Karena itu, sejak awal P. Hendrik di samping tugas pokoknya di parosi juga bergiat di berbagai kelompok yang mengusahakan pembelaan dan pemberdayaan masyarakat maupun umat. Pada saat itu, P. Hendrik ikut aktif di Lembaga Daya Dharma (LDD) dan ikut mendirikan Tim Relawan untuk Kemanusiaan Posko Pasar Minggu. Usaha P. Hendrik tersebut diteruskan oleh P. Paulus Dwiyaminarta CSsR.
Karya para Redemptoris di Jakarta dilengkapi dengan ciri khas karya yaitu novena kepada Maria Bunda Selalu Menolong di Paroki S. Leo Agung, Jatibening. Di samping itu, pengakuan dosa atau sakramen tobat selalu mendapatkan tempat yang pertama dalam karya devosional novena tersebut. Ini seturut teladan S. Alfonsus Liguori yang menekankan pentingnya pertobatan terus menerus agar kita dapat memperoleh buah penebusan yang berlimpah- limpah dari Allah sesuai dengan semboyan para Redemptoris Capiosa Apud Eum Redemptio ( Pada Tuhanlah Penebusan berlimpah-limpah).
Pada 2 Oktober 2005 Redemptoris telah sewindu hadir dan berkarya di Keuskupan Agung Jakarta. Waktu yang singkat dibandingkan dengan kehadiran Redemptoris di Indonesia yang sudah 50 tahun dan usia Gereja Katolik di Jakarta yang sudah 200 tahun. Dalam waktu yang singkat itu, para Redemptoris telah mencoba mewartakan Kabar Gembira kepada setiap orang yang ditemui dan dijumpai melalui kesaksian hidup.
Ada lima Redemptoris yang berada di Komunitas Jakarta. Empat orang berkarya di lembaga keuskupan, yaitu paroki S. Leo Agung Jatibening, S. Aloysius Gonzaga Cijantung, dan S. Nikodemus Ciputat, serta satu orang di rumah komunitas dengan tugas khusus dari Kongregasi.
Para Redemptoris tersebut yaitu P Paulus Dwiyaminarta CSsR (di rumah komunitas sekaligus sebagai superior komunitas Jakarta 2005 ...), P. Paulus Nuho (sebagai pastor pembantu di paroki S. Leo Agung sejak 1 September 2004), P. Maximus Woga CSsR(Pastor Kepala Paroki S. Aloysius Gonzaga sejak 1 Oktober 2005), P. Bartholomeus O. Kelen CSsR(pastor kepala paroki S. Leo Agung sejak 1 November 2005) dan P. Dominikus Dionysius (pastor pembantu paroki S. Nikodemus sejak 1 September 2005).
Catatan Reksa Pastoral di Paroki Leo Agung dan Cijantung
Paroki Leo Agung. Reksa pastoral di Paroki Leo Agung dilanjutkan secara bergantian oleh beberapa imam: P. Damianus Lolo, P. Kaki, P. Kunradus Badi Mukin, dan P. Agustinus Mela. Pada tahun 2024, tongkat estafet kepemimpinan pastoral di paroki ini diteruskan kepada P. Yosef Freidenemetz Rafi Uran sebagai Pastor Paroki, didampingi oleh P. Enos Bulu Bali sebagai Pastor Rekan.
Paroki Cijantung. Reksa pastoral di Paroki Cijantung juga memiliki perjalanan yang penuh dinamika. Setelah P. Maxi, pelayanan pastoral diteruskan oleh P. Mikael Molan Keraf, CSsR, yang berkarya mulai 15 Mei 2008 hingga 4 September 2008. Bersama beliau, P. Agustinus Malo Bulu, CSsR, memulai tugasnya sebagai Pastor Rekan pada tanggal yang sama. Kemudian, P. Agus melanjutkan menjadi Pastor Paroki hingga 31 Januari 2014, didampingi oleh P. Ino Ta sebagai Pastor Rekan.
Tongkat pelayanan kemudian berpindah kepada P. Barnabas Bili Ngongo, CSsR, yang menjadi Pastor Paroki dari 1 Februari 2015 hingga 3 Februari 2018. Pada masa ini, P. Handrianus Mone, CSsR, bergabung sebagai Pastor Rekan sejak 21 Agustus 2015. Selanjutnya, beliau diangkat menjadi Pastor Paroki mulai 4 Februari 2018 hingga 15 Agustus 2020, didampingi oleh P. Robertus Ndajang, CSsR, yang menjabat sebagai Pastor Rekan sejak Februari 2020.
Sejak 15 Agustus 2020 hingga saat ini, P. Robertus Ndajang, CSsR, melanjutkan karya pelayanan sebagai Pastor Paroki, didampingi oleh P. Ivan Nanga, CSsR, sebagai Pastor Rekan. Kemudian pada bulan September 2024 P. Willy Ngongo Pala CSsR ditempatkan sebagai pastor rekan di Paroki Cijantung.
Komunitas di Rumah Pastoral. Selain para imam yang berkarya di paroki, hingga saat ini ada tiga konfrater yang tinggal di rumah komunitas, yaitu:
• P. Gusti Mela
• P. Kunradus Mukin
• P. Ivan Nanga
Semoga karya pelayanan yang telah dimulai ini terus bertumbuh dan berkembang, sehingga warta penebusan yang berlimpah dapat dinikmati oleh semakin banyak umat.
Demikianlah cerita perjalanan kami hingga saat ini di Metropolitan Jakarta.
Copiosa apud eum Redemptio
Selamat Tahun baru 2025